Komisi VI DPR - SNI WAJIB UNTUK PRODUK NT1 DAN NT2
Komisi VI DPR mendesak pemerintah untuk memberlakukan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk produk yang masuk melalui jalur normal, baik itu Normal Track 1 (NT1) maupun Normal Track 2).
Hal tersebut terungkap saat Komisi VI DPR melakukan Raker Gabungan dengan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN dan Menteri Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/1)
Keputusan tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan perlindungan pada industri dalam negeri guna menghadapi perdagangan yang tidak adil.
Berdasarkan data yang diperoleh,yang dimaksud dengan NT1 adalah penurunan bea masuk dimulai sejak 20 Juli 2005 dan menjadi nol persen pada 2010. Sedangkan NT2 adalah penurunan bea masuk nol persen pada 2012.
Berdasarkan hal itu, maka perlu segera dilakukan usaha untuk memperkuat dan memperluas penerapan SNI, serta penggunaan labelisasi dan optimalisasi instrumen subsidi, anti dumping, "countervailing duties" dan berbagai strategi "counter measures".
Menurut Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartatanto (F-PG) menegaskan bahwa penggunaan SNI untuk melindungi pasar dalam negeri pun harus mengacu pada standar internasional.
“Namun sayangnya hingga saat ini standarisasi untuk memproteksi industri di dalam negeri masih ada yang berbeda-beda,”jelas Airlangga.
Seperti yang ia contohkan, standarisasi industri baja yang di tanah air hanya dibatasi dengan ketebalan O,2 mili meter (mm), padahal dunia sudah mengatur yang O,14 mm.
"Nah ini yang menjadi persoalan, oleh karena itu, kalau kita mau bersaing secara sehat gunakanlah standar internasional,"tegasnya.
Ia menambahkan, kondisi tersebut telah menjadi isu tersendiri mengapa pasar standar di Indonesia ini tidak sesuai dengan standar yang diberlakukan secara internasional.
Namun dirinya justru berpendapat bahwa cara melindungi industri dalam negeri dari ACFTA tercepat adalah melalui bea cukai dan pajak. "Bea cukai dan pajak lebih siap dari pada yang lain,"terangnya.
“Sistem peringatan dini (early warning system) yang dikembangkan untuk mendeteksi peningkatan impor harus akurat, selain juga perlunya pembatasan pelabuhan impor tetap diberlakukan,”harapnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dihadapan anggota Komisi VI DPR menjelaskan, penerapan "early warning system" untuk memantau dini terhadap kemungkinan terjadi lonjakan impor telah dilakukan.
“Penerapan tersebut melalui, pengetatan pengawasan penggunaan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dari negara mitra perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA), pengawasan awal terhadap kepatuhan SNI, labelisasi, pencantuman ingredient, pencantuman kadaluarsa dilakukan,”jelas Marie.
Sedangkan untuk wajib SNI, Marie mengatakan, baru untuk 46 produk, termasuk besi baja, sedangkan untuk menangkal laju impor produk luar negeri, pemerintah tengah genjar melakukan promosi penggunaan produk lokal, mengawasi efektifitas promosi penggunaan produksi lokal, optimalisasi peluang pasar China dan ASEAN, penguatan peran perwakilan luar negeri, promosi wisata, promosi perdagangan, dan investasi.(nt)